Dunia ini memang aneh.
Bayangkan bila kita membuat penemuan obat, penelitian termal, membuat campuran bahan baru yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Tentu hasil karya dibagikan agar bermanfaat ke publik.
Itu disebut peneliti, ilmuwan yang memiliki pengetahuan, ilmu diatas rata rata orang lain.
Hasil penelitian diteruskan untuk penerapan masyarakat.
Bila tidak dipublikasi, namanya hobi atau ada tujuan lain untuk komersil temuan sendiri.
Bila kita seorang insinyur, dokter, bahkan Doktor, Profesor, atau peneliti di bidang khusus.
Melakukan riset di lab yang di danai institusi seperti universitas.
Tujuannya untuk mengambil jenjang pendidikan lebih tinggi, atau melakukan penelitian lebih lanjut dan hasilnya akan dibagikan ke orang banyak.
Kemana hasil temuan tersebut dipublikasikan ?
Rata rata hasil penelitian dapat di simpan ke daftar pustaka universitas sendiri.
Sebagai pencapaian dari para mahasiswa sampai pasca sarjana, dan gelar profesor, dimana nama dan penemuan tertera dari universitas.
Kita sering menjumpai artikel dengan nama belakang ac.id artinya akademi Indonesia. Tapi penelitian tidak banyak diketahui, itupun kadang ditemukan di Google.
Di dunia penelitian dimana peneliti lain akan membaca jurnal peneliti lain.
Bila mereka tertarik, jurnal akan diperiksa lebih lanjut.
Bahkan membuat lebih baik lagi, dan kembali sebagai ekosistem dunia pengetahuan.
Bila salah, peneliti akan menanyakan lebih lanjut dengan argumen berbeda.
Di era digital, hasil penelitian dibuat dalam jurnal. Peneliti ingin hasil riset dapat dipublikasikan agar diketahui orang lain.
Tapi di dunia nyata tidak seperti itu.
Alih alih bekerja bertahun tahun, temuan / penelitian dapat dilihat orang banyak.
Ternyata harus bayar untuk publikasi, dan ini baru terjadi dalam beberapa tahun dimana hadirnya media yang menampung hasil jurnal.
Sebuah penelitian ini mengungkap bila wesbite untuk jurnal penelitian malah sebagai media parasit.
Selama setengah abad terakhir, para ilmuwan mengikuti metode yang sama untuk mempublikasikan penelitian mereka.
Misalnya, seorang ilmuwan menemukan pengobatan kanker, peneliti lain memeriksa kebenaran datanya, atau dipublikasikan dalam penelitian di jurnal akademis. Ini ekosistem dari penelitian terbuka, ada yang mencoba, yang lain membuktikan, atau merevisi agar lebih baik, mungkin saling membuktikan.
Kalau tidak dipublikasikan, itu bukan ilmu pengetahuan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir sistem ini telah mengalami transformasi.
Bukan saja pembaca membayar penelitian tersebut, namun penulis juga harus bayar.
Membuat dunia menjadi lucu, ilmu pengetahuan dibuat tapi harus bayar.
Dipimpin pakar Jerman
Stefanie Haustein, sekelompok ilmuwan kini menghitung perputaran “oligopoli” pasar baru dari kalangan peneliti.
Ada 5 media elit menjadi parasit bagi para ahli untuk mempublikasi jurnal di situs mereka.
Dalam evaluasi bergantung pada gaji, promosi, dan anggaran penelitian, para ilmuwan dinilai berdasarkan jumlah penelitian yang mereka terbitkan.
Jadi orang yang memberikan jurnal riset mereka, akan di evaluasi sebelum jurnal di publikasi kata pengelola penebit.
Sistem tersebut seperti memaku para peneliti, hasil karya mereka di publikasikan di jurnal internasional, atau The End.
Lucunya pemilik situs sain adalah perusahaan publishing dibelakang media besar tersebut, dan perusahaan besar itulah yang melakukan investasi.
Para peneliti mengerti bila layanan jurnal digital dari media di internet memerlukan biaya.
Tapi meminta terlalu banyak menjadi pertanyaan lain, bahkan jumlahnya mencapai ribuan dollar untuk 1 jurnal.
Ilmuwan paling produktif di Spanyol, José Manuel Lorenzo, kepala penelitian di Pusat Teknologi Daging dari Xunta de Galicia, menerbitkan 176 makalah di tahun 2022.
Artinya dia menerbitkan satu penelitian setiap dua hari, bahkan pada topik yang tidak berhubungan dengan bidang keahliannya, seperti bagaimana rumah sakit menangani penyakit cacar monyet.
Tim Stefanie dari Universitas Ottawa Kanada mengatakan, menurut perhitungan mereka :
Springer Nature mengambil bagian terbesar, dengan $589,7 juta
Elsevier ($221,4 juta)
Wiley ($114,3 juta)
Taylor & Francis ($76,8 juta)
Sage ($31,6 juta)
Biaya diperlukan agar suatu penelitian dapat diakses terbuka resmi disebut “biaya pemrosesan artikel”, dan rata-rata, penulis / institusi membayar lebih dari $2.500 per jurnal untuk publikasi.
Sosiolog Prancis, Pierre Bataille, menyebut tuduhan penerbit tersebut sebagai “vampirisasi penelitian”.
Sekilas publisher memakan karya orang lain untuk keuntungan sendiri
Studi Stefanie mengungkapkan dua jurnal ilmiah lain :
Scientific Reports $105,1 juta
Nature Communications $71,1 juta
Hem akhirnya kita tahu mereka menerbitkan hasil peneliti situs jurnal sain, ternyata hanya sekedar mempublikasikan.
Kedua media dimiliki penerbit Inggris Springer Nature, 53% sahamnya dimiliki Grup Holtzbrinck.
Perusahaan keluarga Jerman tersebut didirikan setelah Perang Dunia Kedua oleh Nazi Georg von Holtzbrinck.
Penerbit Inggris pemilik jurnal Nature mingguan bergengsi, dengan jumlah arsip 4.600 jurnal lainnya.
Analisis Stefanie menegaskan, media online Scientific Reports and Nature Communications adalah dua jurnal besar yang diubah menjadi mesin penghasil keuntungan.
Scientific Reports memiliki jurnal yang menerbitkan penelitian terbanyak di dunia, hampir 22.000 makalah tahun 2022
Tapi mengenakan biaya $2.490 untuk memposting penelitian.
Nature Communications menerbitkan sekitar 7.500 artikel per tahun dan meminta $6.490 untuk masing-masing artikel.
Untuk diterbitkan di Nature, dikenakan biaya luar biasa $11,690.
Peneliti mencontohkan dari Belanda Elsevier, tahun 2022 menerbitkan 600.000 penelitian, 1/4 penelitian akses terbuka.
Pendapatan tahunan Elsevier adalah $3,5 miliar, dengan laba $1,3 miliar, menurut laporan tahun 2022.
Setiap $1.000 yang dibelanjakan komunitas akademis atau peneliti, untuk penerbitan di Elsevier, sekitar $400 masuk ke kantong perusahaan jelas Stefanie.
Peneliti Jerman menunjukkan paradoks sistem saat ini.
Komunitas ilmiah membayar untuk mempublikasikan studi dan karya mereka sendiri.
Nantinya hasil studi mereka dapat ditinjau ulang oleh rekan lain secara gratis.
Terlebih lagi, institusi dikenakan iuran tahunan untuk jurnal yang tidak bersifat open access.
Artinya, civitas akademika harus membayar publikasi mengakses konten yang mereka sediakan secara gratis.
Sedangkan masyarakat umum menghadapi hambatan karena tidak mendapat akses lengkap, kecuali membayar.
Model bisnis ini tidak berkelanjutan dan menghabiskan anggaran penelitian di seluruh dunia, kata Stefanie.
Dari sisi penerbit membantah, kata juru bicara Springer Nature mengatakan angka tersebut ketinggalan dan menghitung dengan cara yang salah.
Itukan dari sisi penerbit, tetap saja mereka meminta uang untuk publikasi penelitian orang lain.
Tidak hanya marketplace, layanan online lain wajar mengenakan biaya, tapi parasit elit terjadi di dunia pendidikan dan ilmuwan.
Ini ada jalur lain, bila anda sering melihat publikasi dengan nama Arxiv. Layanan publikasi tersebut dikelola Cornell University Amerika.
Disana penulis gratis, boleh memposting penelitan mereka, dan terbuka di baca semua orang.
Biaya untuk menyimpan jauh lebih murah, $15 per jurnal tapi tidak dikenakan ke peneliti atau mereka yang memposting.
Semua ditanggung dari sumbangan universitas dan yayasan.
Di sisi penerbit mengatakan ada alasan mengapa biaya publikasi penelitian sangat tinggi.
Katanya ada tim independen untuk meninjau hasil penelitian sebelum di publikasi.
Nyatanya, tim independen tersebut tidak mengenakan biaya karena masing masing peneliti ada yang mempublikasi penelitian, dan rekan lain yang meninjau ulang.
Itu omongan dari sisi pemilik layanan, karena membuat media untuk posting jurnal penelian hanya kedok untuk mencari uang.
Stefanie menanggapi kritik dengan bukti.
Media Nature Communications rata-rata mengenakan biaya lebih dari $4.000 antara tahun 2015.
Tahun 2018 sampai 2023 naik dengan tarif $6.490.
Sudah jelas media tersebut memang komersil.
Beruntung masih ada layanan lain yang di repositori institusional CSIC. Biaya publikasi sekitar $30 per studi.
Dan layanan Arxiv yang menaungi hasil karya para peneliti.
Dunia memang aneh, sekolah tinggi dan menemukan sesuatu.
Bukannya dihargai malah harus bayar untuk mempublikasikan.
Ternyata beberapa situs penelitian hanya situs parasit bagi ilmuwan.
Informasi ini diberitakan ke beberapa media dan institusi. Bahkan sudah disebut sejak tahun 2017
MITNewsrndGuardian (2017)